Allah berfirman dalam surat al-Kahfi ayat 82:
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا (٨٢)
“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh.” (Al Kahfi: 82).
.
Diberitakan bahwa dikarenakan keshalihan orang tua, Allah menjaga dan memelihara sang anak, serta tidak mengecewakan orang tua. Oleh karenanya, keshalihan orang tua itu akan berpengaruh pada sang anak, bahkan manfaat itu tidak terbatas pada sang anak semata, tapi juga berdampak kepada cucu-cucunya.
Islam sangat memperhatikan
kemungkinan terburuk yang akan terjadi jika terjadi perselisihan di antara
manusia, terutama mengenai harta. Oleh karena itu, Islam mengenal akad tautsiqah (pengikat
kepercayaan) dan juga persaksian-persaksian, agar nantinya tidak ada yang
terzhalimi. Dalam penyerahan harta anak yatim tersebut pun, sangat disarankan
untuk mendatangkan saks-saksi agar jika nantinya anak yang menerima harta
tersebut menyatakan harta yang diterimanya kurang, maka dia bisa menuntut dan
memiliki bukti, begitu pula jika nantinya anak tersebut menuntut orang yang
menjaga hartanya, maka orang yang menjaga hartanya pun bisa menunjukkan bukti
penyerahannya.
Kesimpulan
1.
Anak
yatim adalah anak yang ayahnya telah meninggal semenara dia belum baligh.
Apabila telah baligh maka tidak lagi dinamakan sebagai anak yatim.
2.
Apabila
anak yatim telah baligh, merdeka, berakal dan sudah bisa mengelola harta dengan
baik, maka anak tersebut memiliki hak untuk mengambil hartanya yang dititipkan
kepada walinya.
3.
Wali
yatim yang miskin hanya boleh mengambilnya dalam keadaaan sangat membutuhkan
dan itupun dianggap sebagai utang yang harus dia kembalikan jika dia memiliki
kelapangan untuk membayarnya.
4.
Disunnahkan
ketika menyerahkan harta anak yatim kepadanya untuk mempersaksikannya kepada
saksi-saksi agar menghindari perselisihan di kemudian hari.
Saran
Jika seseorang merasa tidak mampu
menjaga amanah untuk menjaga harta anak yatim, maka janganlah dia menerima
tawaran untuk menjaga hartanya atau menawarkan diri untuk menjaga harta anak
yatim. Karena ini adalah amanah yang sangat besar. Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah menasihati Abu Dzar Radhiyallahu anhu, Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
يَا أَبَا ذَرٍّ إِنِّى أَرَاكَ
ضَعِيفًا وَإِنِّى أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِى لاَ تَأَمَّرَنَّ عَلَى
اثْنَيْنِ وَلاَ تَوَلَّيَنَّ مَالَ يَتِيمٍ
Wahai Abu Dzar! Sesungguhnya saya
melihatmu sebagai orang yang lemah. Saya menyukai untukmu apa yang saya sukai
untuk diriku. Janganlah kamu menjadi pemimpin walaupun kamu hanya berdua dan
janganlah kamu mengurus penjagaan harta anak yatim.
Demikian tulisan ini dan mudahan
bermanfaat. Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang memperhatikan anak
yatim sehingga Allâh Azza wa Jalla memasukkan kita ke dalam surga dekat dengan
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.